Tulisan ini telah dimuat di surat kabar harian Radar Banjarmasin edisi Jumat, 13 April 2018. Merupakan pandangan saya terhadap maraknya korupsi di negara dan efek yang ditimbulkan baik dari sisi psikologis dan lainnya.
Hampir tidak habisnya berita mengenai KPK yang melakukan OTT kepada kepala daerah dan pejabat pemerintah. Kerja KPK kini tidak hanya menciduk pejabat-pejabat di Jakarta. Kini wilayah jelajahnya hingga ke level daerah. Pejabat daerah yang selama ini merasa aman hidup ‘berdampingan’ dengan oknum aparat penegak hukum, saat ini mulai was-was.
OTT KPK tak dapat diprediksi, waktu pertemuan dengan klien mungkin saja sudah dipantau, ruang gerak oknum pejabat korup mulai terasa sempit. Hingga Ketua MPR, Zulkifli Hasan sempat khawatir jika KPK terus melakukan operasinya, melakukan OTT kepada pejabat dan kepala daerah, maka suatu saat nanti semua pejabat akan habis menjadi tahanan KPK.
Sebuah kekhawatiran yang dangkal. Jika banyak pejabat korup, serakah, dan tak perduli dengan nasib rakyat untuk apa dipertahankan. Mengapa takut kehabisan pejabat yang mau mengurusi negeri ini. Sedangkan, setiap lima tahun sekali kita memilih pemimpin kita secara langsung melalui demokrasi yang kita banggakan.
Sebagian besar rakyat berpikir bahwa demokrasi adalah jalan keluar untuk menghasilkan pemimpin-pemimpin yang unggul. Tetapi, sudah empat kali pemilu dan ratusan pilkada yang digelar secara langsung, melibatkan partisipasi seluruh rakyat, kucuran dana yang besar, dan sampai saat ini masih saja korupsi menjadi penyakit yang seakan masih belum ada obatnya. Continue reading “Efek Korupsi dan Peran Kita”